A. Latar Belakang
Polstranas atau yang dikenal sebagai
politik nasional dan strategi nasional merupakan suatu asas, haluan, usaha
serta tindakan dari negara berikut pengetahuan tentang pembinaan dan penggunaan
kekuatan dan potensi nasional secara totalitas untuk mancapai tujuan nasional.
Politik nasional adalah suatu kebijakan umum dan pengambilan kebijakan untuk
mencapai suatu cita-cita dan tujuan nasional bangsa. Sedangkan strategi
nasional adalah cara melaksanakan politik nasional dalam upaya mencapai sasaran
dan tujuan yang ditetapkan oleh politik nasional. Dapat dikatakan bahwa
strategi nasional disusun untuk mendukung terwujudnya politik nasional.
Polstranas disusun dengan memahami
pokok-pokok pikiran yang terdapat dalam sistem manajemen nasional yang
berdasarkan ideologi Pancasila, UUD 1945, Wawasan Nusantara dan Ketahanan
Nasional. Landasan pemikiran dalam manajemen nasional dipergunakan sebagai
kerangka acuan dalam penyusunan politik strategi nasional, karena di dalamnya terkandung
dasar negara, cita-cita nasional dan konsep strategi bangsa Indonesia.
Strategi nasional dilaksanakan oleh para manteri dan pimpinan lembaga-lembaga negara setingkat menteri dengan arahan langsung dari Presiden. Polstranas hasil penyusunan Presiden harus memuat tujuan-tujuan negara yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupa bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Strategi nasional dilaksanakan oleh para manteri dan pimpinan lembaga-lembaga negara setingkat menteri dengan arahan langsung dari Presiden. Polstranas hasil penyusunan Presiden harus memuat tujuan-tujuan negara yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupa bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
B. Pengertian Politik, Strategi, dan Polstranas
Perkataan
politik berasal dari bahasa Yunani yaitu Polistaia, Polis berartikesatuan
masyarakat yang mengurus diri sendiri/berdiri sendiri (negara), sedangkan taia
berarti urusan. Dari segi kepentingan penggunaan, kata politik mempunyai
artiyang berbeda-beda. Untuk lebih memberikan pengertian arti politik
disampaikan beberapa arti politik dari segi kepentingan penggunaan, yaitu
:
a.
Dalam arti kepentingan umum (politics)
Politik
dalam arti kepentingan umum atau segala usaha untuk kepentinganumum, baik yang
berada dibawah kekuasaan negara di Pusat maupun di Daerah,lazim disebut Politik
(Politics) yang artinya adalah suatu rangkaian azas/prinsip,keadaan serta
jalan, cara dan alat yang akan digunakan untuk mencapai tujuantertentu atau
suatu keadaan yang kita kehendaki disertai dengan jalan, cara dan alatyang akan
kita gunakan untuk mencapai keadaan yang kita inginkan.
b.
Dalam arti kebijaksanaan (Policy)
Politik
adalah penggunaan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang yang dianggaplebih
menjamin terlaksananya suatu usaha, cita-cita/keinginan atau keadaan yang
kitakehendaki. Dalam arti kebijaksanaan, titik beratnya adalah adanya :- proses
pertimbangan- menjamin terlaksananya suatu usaha- pencapaian
cita-cita/keinginan
Jadi politik adalah tindakan dari suatu kelompok individu
mengenai suatu masalahdari masyarakat atau negara. Dengan demikian, politik
membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan :
a. Negara
b.
Kekuasaan
c.
Pengambilan keputusan
d.
Kebijakan umum
e.
Distribusi
Strategi berasal dari bahasa Yunani yaitu strategia yang
artinya the art of the generalatau seni seorang panglima yang biasanya
digunakan dalam peperangan. Karl vonClausewitz berpendapat bahwa strategi
adalah pengetahuan tentang penggunaan pertempuran untuk memenangkan
peperangan, sedangkan perang adalah kelanjutandari politik. Dalam abad modern
dan globalisasi, penggunaan kata strategi tidak lagiterbatas pada konsep atau
seni seorang panglima dalam peperangan, tetapi sudahdigunakan secara luas
termasuk dalam ilmu ekonomi maupun olah raga. Dalam pengertian umum,
strategi adalah cara untuk mendapatkan kemenangan atau pencaipan suatu
tujuan.Politik nasional diartikan sebagai kebijakan umum dan pengambilan
kebijakan untuk mencapai suatu cita-cita dan tujuan nasional. Dengan
demikian definisi politik nasional adalah asas, haluan, usaha serta
kebijaksanaan negara tentang pembinaan(perencanaan, pengembangan, pemeliharaan,
dan pengendalian) serta penggunaankekuatan nasional untuk mencapai tujuan
nasional. Sedangkan strategi nasional adalah cara melaksanakan politik nasional
dalam mencapai sasaran dan tujuan yang ditetapkan oleh politik nasional.
Strategi nasional disusun untuk melaksanakan politik nasional, misalnya
strategi jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.
C. Penyusunan Politik dan Strategi Nasional
Proses penyusunan politik strategi nasional pada
infrastruktur politik merupakan sasaran yang akan dicapai oleh rakyat
Indonesia. Sesuai dengan kebijakan politik nasional, penyelenggara negara harus
mengambil langkah-langkah pembinaan terhadap semua lapisan masyarakat dengan
mencantumkan sasaran masing-masing bidang. Dalam era reformasi saat ini
masyarakat memiliki peran yang sangat besar dalam mengawasi jalannya politik strategi
nasional yang dibuat dan dilaksanakan oleh Presiden.
Politik strategi nasional yang telah berlangsung selama
ini disusun berdasarkan sistem kenegaraan menurut UUD 195. Sejak tahun 1985
berkembang pendapat yang mengatakan bahwa pemerintah dan lembaga-lembaga negaa
yang diatur dalam UUD 1945 merupakan suprastruktur politik, lembaga-lembaga
terebut adalah MPR, DPR, Presiden, BPK, dan MA. Sedangakn badan-badan yang
berada di dalam masyarakat seperti paratai politik, organisasi kemasyarakatan,
media massa, kelompok kepentingan (interest group) dan kelompok penekan
(pressure group). Suprastruktur dan infrastruktur politik harus dapat bekerja
sama dan memiliki kekuatan yang seimbang.
Mekanisme penyusunan politik strategi nasional di
tingkat suprastruktur politik diatur oleh Presiden, dalam hal ini Presiden
bukan lagi sebagai mandataris MPR sejak pemilihan Presiden secara langsung oleh
rakyat pada tahun 2004. Karena Presiden dipilih langsung oleh rakyat maka dalam
menjalankan pemerintahan berpegang pada visi dan misi Presiden yang disampaikan
pada waktu sidang MPR setelah pelantikan dan pengambilan sumpah dan janji
Presiden/Wakil Presiden. Visi dan Misi inilah yang dijadikan politik dan
strategi dalam menjalankan pemerintahan dan melaksanakan pembangunan selama
lima (5) tahun.
D. Stratifikasi Politik Nasional
Stratifikasi politik nasional dalam negara Republik
Indonesia adalah sebagai berikut;
1. Tingkat penentu kebijakan puncak.
Meliputi kebijakan tertinggi yang menyeluruh secara nasional dan mencakup penentuan undang-undang dasar. Menitik beratkan pada masalah makro politik bangsa dan negara untuk merumuskan idaman nasional berdasarkan falsafah Pancasila dan UUD 1945. Kebijakan tingkat puncak dilakukan oleh MPR. Dalam hal dan keadaan yang menyangkut kekuasaan kepala negara seperti tercantum pada pasal 10 sampai 15 UUD 1945, tingkat penentu kebijakan puncak termasuk kewenangan Presiden sebagai kepala negara. Bentuk hukum dari kebijakan nasional yang ditentukan oleh kepala negara dapat berupa dekrit, peraturan atau piagam kepala Negara.
2. Tingkat kebijakan umum.
Merupakan tingkat kebijakan di bawah tingkat kebijakan puncak, yang lingkupnya menyeluruh nasional dan berisi mengenai masalah-masalah makro strategi guna mencapai idaman nasional dalam situasi dan kondisi tertentu.
3. Tingkat penentu kebijakan khusus.
Merupakan kebijakan terhadap suatu bidang utama pemerintah. Kebijakan ini adalah penjabaran kebijakan umum guna merumuskan strategi, administrasi, sistem dan prosedur dalam bidang tersebut. Wewenang kebijakan tingkat di atasnya.
4. Tingkat penentu kebijakan teknis.
Kebijakan teknis meliputi kebijakan dalam satu sektor dari biang utama dalam bentuk prosedur serta teknik untuk mengimplementasikan rencana, program dan kegiatan.
5. Tingkat penentu kebijakan di Daerah.
Wewenang penentuan pelaksanaan
kebijakan pemerintah pusat di daerah terletak pada Gubernur dalam kedudukannnya
sabagai wakil pemerintah pusat di daerahnya masing-masing. Kepala daerah
berwenang mengeluarkan kebijakan pemerintah daerah dengan persetujuan DPRD.
Kebijakan tersebut berbentuk Peraturan Daerah (Perda) tingkat I atau II.
Menurut kebijakan yang berlaku sekarang, jabatan Gubernur/Kepala Daerah tingkat
I, Bupati/Kepala Daerah tingkat II atau Walikota/Kepala Daerah tingkat II.
E.Otomoi Daerah
Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang merupakan salah satu wujud politik dan strategi
nasional secara teoritis telah memberikan dua bentuk otonomi kepada dua daerah,
yaitu otonomi terbatas bagi daerah propinsi dan otonomi luas bagi daerah
Kabupaten/Kota. Perbedaan Undang-undang yang lama dan yang baru ialah:
1. Undang-undang yang lama, titik pandang kewenangannya dimulai dari pusat (central government looking).
2. Undang-undang yang baru, titik pandang kewenangannya dimulai dari daerah (local government looking).
Kewenangan Daerah
1. Dengan berlakunya UU No. 22 tahun 1999tenang Otonomi Daerah, kewenagan daerah mencakup seluruh kewenangan bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.
2. Kewenagnan bidang lain, meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara makro.
3.
Bentuk dan susunan pemerintahan daerah,
a.
DPRD sebagai badan legislatif daerah dan pemerintah daerah sebagai eksekutif
daerah dibentuk di daerah.
b.
DPRD sebagai lwmbaga perwakilan rakyat di daerah merupakan wahana untuk melaksanakan
demokrasi
1).Memilih Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota.
2).Memilih anggota Majelis Permusawartan Prakyat dari urusan Daerah.
3).Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota.
4. Membentuk peraturan daerah bersama gubernur, Bupati atas Wali Kota.
5. Menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bersama gubernur, Bupati, Walikota.
6. Mengawasi pelaksanaan keputusan Gubernur, Bupati, dan Walikota, pelaksanaan APBD, kebijakan daerah, pelaksanaan kerja sama internasional di daerah, dan menampung serta menindak-lanjuti aspirasi daerah dan masyarakat.
F.
Masyarakat Madani
Masyarakat
madani, yang merupakan kata lain dari masyarakat sipil (civil society), kata
ini sangat sering disebut sejak kekuatan otoriter orde baru tumbang selang satu
tahun ini. Malah cenderung terjadi sakralisasi pada kata itu seolah implementasinya
mampu memberi jalan keluar untuk masalah yang tengah dihadapi oleh bangsa kita.
Kecenderungan sakralisasi berpotensi untuk menambah derajat kefrustasian yang
lebih mendalam dalam masyarakat bila terjadi kesenjangan antara realisasi
dengan harapan. Padahal kemungkinan untuk itu sangat terbuka, antara lain,
kesalahan mengkonsepsi dan juga pada saat manarik
parameter-parameterketercapaian.
Saat ini gejala itu sudah ada, sehingga kebutuhan membuat wacana ini lebih terbuka menjadi sangat penting dalam kerangka pendidikan politik bagi masyarakat luas.Masyarakat SipilVs Militer
Dalam tataran praktis sementara orang melihat, masyarakat madani dianggap sebagai institusi sosial yang mampu mengkoreksi kekuatan “militer“ yang otoriter. Dalam arti lain masyarakat sipil memiliki konotasi sebagai antitesa dari masyarakat militer. Oleh sebab itu eksistensi masyarakat sipil selalu dianggap berjalan linier dengan penggugatan Dwi Fungsi ABRI. Dengan begitu menurut yang pro pada pemikiran ini, konsep Indonesia baru yang dicita-citakan merupakan masyarakat tanpa pengaruh dan dominasi kekuatan militer. Maka dengan demikian dinamika kehidupan sosial dan politik harus memiliki garis batas pemisah yang jelas dengan dinamika pertahanan dan keamanan.
Saat ini gejala itu sudah ada, sehingga kebutuhan membuat wacana ini lebih terbuka menjadi sangat penting dalam kerangka pendidikan politik bagi masyarakat luas.Masyarakat SipilVs Militer
Dalam tataran praktis sementara orang melihat, masyarakat madani dianggap sebagai institusi sosial yang mampu mengkoreksi kekuatan “militer“ yang otoriter. Dalam arti lain masyarakat sipil memiliki konotasi sebagai antitesa dari masyarakat militer. Oleh sebab itu eksistensi masyarakat sipil selalu dianggap berjalan linier dengan penggugatan Dwi Fungsi ABRI. Dengan begitu menurut yang pro pada pemikiran ini, konsep Indonesia baru yang dicita-citakan merupakan masyarakat tanpa pengaruh dan dominasi kekuatan militer. Maka dengan demikian dinamika kehidupan sosial dan politik harus memiliki garis batas pemisah yang jelas dengan dinamika pertahanan dan keamanan.
Koreksi
kritis terhadap peran sosial ABRI bagi sementara orang merupakan keharusan
sejarah setelah melihat betapa rezim lama memposisikan ABRI sebagai “backing”
untuk melindungi kepentingan-kepentingan kelompok ekonomi kuat tertentu yang
memiliki akses bagi penguatan legitimasi politik Soeharto. Sementara mereka
tidak melihat komitmen yang sebanding untuk fungsi substansialnya yakni
pertahanan dan keamanan.
Berlanjutnya
kerusuhan di beberapa tempat dan terancamnya rasa aman masyarakat, serta
kekurangprofesionalan dalam teknik penanganan pada kasus-kasus politik tertentu
merupakan bukti kuat bahwa militer tidak cukup memiliki kecakapan pada fungsi
utamanya.
Maka
sangat wajar bila kader-kader militer dipersilahkan untuk hengkang dari posisi
eksekutif dan legislatif, ke tempat yang lebih fungsional yakni barak-barak.
Kekurangsetujuan terhadap implementasi Dwi
Fungsi ABRI, khususnya tugas kekaryaan, sebenarnya syah-syah saja namun
masalahnya apakah masyarakat madani tepat bila hanya dipersepsikan sebagai
bentuk peminggiran peran militer. Kebutuhan untuk keluar dari rasa takut akibat
distorsi peran militer selama masa orde baru menyebabkan terjadinya proses
kristalisasi konsep masyarakat madani yang berbeda dengan konsep bakunya.
Dengan kata lain telah terjadi gejala “contradictio internemis” pada wacana
masyarakat madani dalam masyarakat kita dewasa ini.
Masyarakat Sipil Vs Negara
Masyarakat
madani atau masyarakat sipil (civil society) dalam wacana baku ilmu sosial pada
dasarnya dipahami sebagai antitesa dari “masyarakat politik” atau negara.
Pemikiran itu dapat dilacak dari pendapatnya Hobbes, Locke, Montesquieu, Hegel,
Marx, Gramsci dan lain-lain. Pemikiran mengenai masyarakat sipil tumbuh dan
berkembang sebagai bentuk koreksi radikal kepada eksistensi negara karena
peranannya yang cenderung menjadi alat kapitalisme.
Substansi
pembahasannya terletak pada penggugatan hegemoni negara dalam melanggengkan
kekuatan kelompok kapitalis dengan memarjinalkan peran masyarakat pada umumnya.
Oleh sebab itu dibutuhkan sebuah kekuatan non-pemerintah yang mampu mengimbangi
dan mencegah kekuatan negara untuk mengurangi tekanan-tekanan yang tidak adil
kepada rakyatnya. Akan tetapi di sisi lain, mendukung peran pemerintah dalam
menjadi juru damai dan penjaga keamanan dari kemungkinan konflik-konflik antar
kepentingan dalam masyarakat.
Dengan
kata lain perlu adanya reposisi struktural dan kultural antar komponen dalam
masyarakat, sederhananya, “serahkan urusan rakyat pada rakyat, dan posisikan
pemerintah sebagai pejaga malam”.
Penggugatan
peran pemerintah oleh rakyat dalam konstelasi sosial di Indonesia bukan sama
sekali baru. Bob S.Hadiwinata (1999) mencatat sejarah panjang gerakan sosial di
Indonesia, yakni sejak abad ke-19 sampai masa orde baru.
Berdasarkan
kajian di atas masyarakat madani pada dasarnya adalah sebuah komunitas sosial
dimana keadilan dan kesetaraan menjadi fundamennya. Muara dari pada itu adalah
pada demokratisasi, yang dibentuk sebagai akibat adanya partisipasi nyata
anggota kelompok masyarakat. Sementara hukum diposisikan sebagai satu-satunya
alat pengendalian dan pengawasan perilaku masyarakat. Dari definisi itu maka
karakteristik masyarakat madani, adalah ditemukannya fenomena,
(a)
demokratisasi,
(b)
partisipasi sosial, dan
(c)
supremasi hukum; dalam masyarakat.
Pertama,
sehubungan dengan karakteristik pertama yakni demokratisasi, menurut Neera
Candoke (1995:5-5) social society berkaitan dengan public critical
rational discource yang secara ekplisit mempersyaratkan tumbuhnya demokrasi.
Dalam kerangka itu hanya negara yang demokratis yang menjamin masyarakat
madani. Pelaku politik dalam suatu negara (state) cenderung menyumbat
masyarakat sipil, mekanisme demokrasi lah yang memiliki kekuatan untuk
mengkoreksi kecenderungan itu.
Kedua,
partisipasi sosial yang benar-benar bersih dari rekayasa merupakan awal yang
baik untuk terciptanya masyarakat madani. Partisipasi sosial yang bersih dapat
terjadi bilamana tersedia iklim yang memungkinkan otonomi individu terjaga.
Antitesa dari sebuah masyarakat madani adalah tirani yang memasung secara
kultural maupun struktural kehidupan bangsa.
Ketiga,
penghargaan terhadap supremasi hukum merupakan jaminan terciptanya keadilan.
Al-Qur’an menegaskan bahwa menegakan keadilan adalah perbuatan yang paling
mendekati taqwa (Q.s. Al Maidah:5-8). Dengan demikian keadilan harus
diposisikan secara netral, dalam artian, tidak ada yang harus dikecualikan
untuk memperoleh kebenaran di atas hukum.. Demokrasi tanpa didukung oleh
penghargaan terhadap tegaknya hukum akan mengarah pada dominasi mayoritas yang
pada gilirannya menghilangkan rasa keadilan bagi kelompok lain yang lebih
minoritas. Demikian pula partisipasi tanpa diimbangi dengan menegakkan hukum
akan membentuk masyarakat tanpa kendali (laissez faire).
Dengan demikian semakin jelas bahwa masyarakat madani merupakan bentuk sinergitas dari pengakuan hak-hak untuk mengembangkan demokrasi yang didasari oleh kesiapan dan pengakuan pada partisipasi rakyat, dimana dalam implentasi kehidupan peran hukum stategis sebagai alat pengendalian dan pengawasan dalam masyarakat. Namun timbul pertanyaan sejauh mana kesiapan bangsa Indonesia memasuki masyarakat seperti itu.
Dengan demikian semakin jelas bahwa masyarakat madani merupakan bentuk sinergitas dari pengakuan hak-hak untuk mengembangkan demokrasi yang didasari oleh kesiapan dan pengakuan pada partisipasi rakyat, dimana dalam implentasi kehidupan peran hukum stategis sebagai alat pengendalian dan pengawasan dalam masyarakat. Namun timbul pertanyaan sejauh mana kesiapan bangsa Indonesia memasuki masyarakat seperti itu.
DAFTAR PUSTAKA
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/05/politik-dan-strategi-nasional-29/
http://rrriiiian.wordpress.com/2010/04/05/bab-iv-politik-dan-strategi-nasional/